Langsung ke konten utama

Mendidik Anak Tak Hanya Menyoal Target, Bund



Bismillah.
Bahasan yang ini agak serius dulu boleh kali ya. Tapi jangan tegang juga, bacanya saat sedang bersantai-ria justru lebih baik, karena nampaknya akan sedikit lebih panjang, hihi. 

Jadi, belakangan ini Allah berikanku kesempatan untuk lagi-lagi terjun ke dunia pendidikan dan anak-anak. Sekarang bedanya adalah di jenjang pendidikan formal. Membersamai mereka dalam berbagai proses belajarnya sungguh merupakan salah satu hal yang syukurnya tak dapat kudefinisikan, alhamdulillah. Sering kali haru menyelimuti diri ini saat melihat sesuatu yang hal tersebut merupakan indikator baik bagi tumbuh kembang mereka. Tanpa kusadari, hampir setiap hari bersama mereka ternyata merupakan di antara sumber kebahagiaan yang Allah anugerahkan untukku. 

Di sisi lain, tak jarang rasa bersalah datang menghampiri kemudian bertanya kepada diri "sudah maksimal belum ya apa yang kulakukan untuk mereka?", "kira-kira yang disampaikan hari ini betul dapat mereka terima dan amalkan ndak ya?", dan pertanyaaan lain oleh sebab beberapa kondisi yang tidak se-ideal yang dibayangkan sebelumnya, terutama menyangkut target akademik mereka. Senin-Jumat sejak pukul 07.30 sampai 10.30, memang jadwal sekolah yang termasuknya singkat jika dibandingkan TK IT kebanyakan pada masa ini.

Selain tetap mengedepankan fitrahnya anak-anak, yakni bermain dan suasana yang riang gembira, mungkin ada yang bertanya, belajar apa saja mereka dalam sepekan? 
Ini jawabannya, yang masuk ke dalam penilaian; kemampuan motorik kasar dan motorik halus; perkembangan kognitif; kemampuan bahasa atau berkomunikasi; kecerdasan sosial dan kontrol emosi; aqidah; fikih; adab/akhlak; tahfidz, hafalan doa; hafalan kosa kata bahasa Arab; siroh/sejarah Islam. Baik, kita simpan dulu terkait jadwal belajar mereka yang begitu banyak dan nampak sangat padat ini. 

Kembali soal kegalauanku di atas. Tak lama kurasakan hal tersebut, mungkin hanya satu atau dua pekan. Saat pertemuan rutin para pengajar, seolah langsung Allah beri jawaban atas resah dan bayangan rasa bersalah yang ada. Dalam pertemuan tersebut salah satu agendanya ada penyampaian nasehat dari koordinator umum kami, barulah aku tersadarkan oleh beberapa hal yang teramat penting. 
Berikut coba kuringkaskan dengan penyederhanaan bahasa/istilah, namun tetap kuusahakan untuk menjaga maknanya agar sesuai dengan apa yang disampaikan oleh beliau hafizhahallah ketika itu.

Kurang lebih bisa menjadi satu kalimat singkat berikut ini "bahwa sejatinya, pendidikan anak dengan usia dini (0-6 tahun) itu dilakukan dengan hanya memberikan rangsangan untuk membantu tumbuh kembang anak tersebut baik jasmani/rohani agar anak memiliki persiapan dalam memasuki jenjang pendidikan selanjutnya."

Sebagai koordinator umum sekaligus pengajar senior beliau pasti paham bahwa terkadang perasaan dikejar target acap kali datang, padahal tidak ada yang mengharuskan bahwa anak harus bisa ini dan itu, harus mampu dan unggul dalam segala hal. Tugas pengajar hanyalah menyampaikan dengan memberi rangsangan, agar mereka memiliki persiapan, bukan kesiapan. Di sini benar-benar terasa bedanya. Apabila diresapi lebih dalam, direnungkan kembali, betul juga, kalimat tersebut benar-benar menyadarkan. Aku lupa, bahwa entah sudah berapa puluh kali terdengar oleh daun telingaku bahwa dunia anak itu memang masih dominan bermain. 

Meski demikian, catatan untukku dan teman-teman lain yang berada di jalan yang sama, tidak pula lantas dapat bermudah-mudahkan, menggampangkan tugas ini. Sebab bagaimanapun, semua hal tentu akan Allah timbang dengan adil, entah kebaikan atau keburukan, Allah tahu niat dan amal kita. Tetaplah menyampaikan ilmu, tetaplah ikhlas, tetaplah berharap imbalan dari Allah, tetaplah melakukannya dengan hati yang ringan dan bahagia. 

Maka benarlah, sebagaimana poster terlampir, berilah kepada mereka hanya yang baik-baik saja. Apabila anak belum melakukannya sekarang, yakinlah, mereka merupakan pengingat yang baik. Suatu hari, apa yang telah kita berikan untuk mereka, pasti akan ada yang mereka amalkan, apabila tidak semua, bukan berarti juga tidak ada sama sekali. Bila ternyata juga tidak ada sama sekali, tenang, Allah sudah tau dan malaikat-Nya sudah mencatatnya, bukan? Yang penting adalah, kita telah menunaikan apa-apa yang menjadi tugas kita.

Sekian, jangan lupa terus semangat. Sehat-sehat semuanya, barakallahu fiikum. Luvvvv. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Langkah Mudah Membuat Kompos

Waaah,  it's been a while! Oke baik, aku kembali dengan tulisanku yang ala-ala ini.  Sekarang aku akan membagikan pengalamanku mengompos yang Allah mudahkan, berhasil dan cukup memuaskan walhamdulillah.  Sebelumnya mau disclaimer dulu, yaa.  Perlu diketahui bahwa kompos itu sendiri banyak macamnya, belum lagi teknik-tekniknya, butuh bantuan zat lain atau tidak, dan sebagainya. Nah, yang insyaallah akan kubagikan ini adalah model mengompos yang paling general dan tergolong mudah.  Dalam membuat kompos ini teman-teman hanya membutuhkan tiga komponen utama, yaitu wadah, limbah organik (komposter), dan tanah. Wadahnya bebas bisa apapun selama itu bisa menahan air dan bisa buka-tutup. Limbah organik di sini semuanya yang alamiahnya dari 'sana' belum diproses sama sekali seperti; daun-daun kering; kulit buah; sisa sayur; dan yang sejenis dengan ketiga kategori ini.  Setelah kompos jadi, dikemanakan? Pertanyaan ini harus punya jawaban terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk membu

Mungkin Sulit Untukmu Ikhlas, Tapi Ridho Tetap Harus Dicapai (Bag 1)

Di hari terakhir tahun ini, mungkin tak sedikit dari kita yang mencoba mengingat kembali apa-apa saja yang telah kita lalui kemudian darinya lahir beragam rupa emosi.  Keadaan senang, bahagia, lapang, mudah, enak, sudah biasa. Semua orang menginginkannya, hanya sayang tak setiap insan dari yang merasakan nikmat ini lantas mengucap syukur. Beda halnya dengan sedih, tak terima, amarah, dendam, tak ikhlas. Ini kebalikan. Sudah dapat dipastikan yang mendapat ujian ini alih-alih mengucap syukur, justru keluh kesah yang ia ekspresikan.  Terkadang rasa ketidaknyamanan yang hadir menyapa hidup ini menyisakan sesak di dada. Entah itu disebabkan gangguan orang atau yang selainnya. Sibuk kesana kemari obat luka dicari, padahal kuncilah adalah menata hati dan iman terhadap semua ketetapan Allah diperbaiki. "Loh kok ujung-ujungnya lari ke iman lagi, sih?!". Iya benar, coba direnungkan sejenak yuk. Bukankah semua yang terjadi di alam semesta ini tak pernah lepas dari apa-apa yang sudah All

Ternyata, Begini Rasanya.......

Bismillah Untuk semua saudari seimanku, izinkanku untuk berbagi pikiran ini, hanya sedikit.  Perihal menampakkan diri yang tanpa disadari. Jujur saja, tak jarang diri ini sedih dan justru malah ikut malu jika menemukan akun akhwat yang katanya sudah ngaji namun tanpa ada keperluan, komentarnya masih bertebaran di banyak akun dakwah dengan pengikut yang cukup tinggi. "Tapi kan komentarnya baik, salahnya dimana?". Betul komentarnya baik, namun bukankah lebih baik jika kau tidak menampakkan dirimu di sana, apa yang kau dapatkan dari komentarmu itu? Tidakkah kau ingat bahwa di media sosial semua orang bisa melihatmu? Meskipun hanya nama, sungguh rasa malu kita merupakan hal yang sangat tinggi kedudukannya akhawat. Baiknya jika ingin memuji, mendo'akan, rasanya cukup dari lirihnya lisan kita saja, tak perlu semua orang jadi tau apa nama akun medsosmu.  Memang medsos kita tidak dapat dijadikan patokan untuk menilai orang, namun sedikit banyak dapat menjadi bagaimana cerminan i